Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Menjadi entrepreneur, saya yakin siapapun bisa. Hal ini, sengaja saya ungkap dalam tulisan ini, mengingat di lapangan kita masih sering melihat bahwa kebanyakan orang Padang, Bugis atau keturunan Cina itu lebih berhasil di bidang bisnis dibanding lainnya. Sehingga disimpulkan, bahwa hal itu karena sifat keturunan atau bakat.
Saya kira itu bukan satu-satunya. Justru yang benar, menurut saya, anak-anak mereka sejak kecilnya memang telah belajar secara informal tentang bisnis (yang menjadi dunia orang tuanya) dari lingkungan keluarganya terus menerus, dan kemudian merekamnya dalam memori otaknya, yang selanjutnya membentuk pola berpikir dan cara berperilaku.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Mitos atau anggapan "Hutang itu Buruk", bisa benar bisa salah. Benar hutang itu buruk, apabila kita berhutang terlalu banyak, hanya untuk keperluan konsumtif. Tetapi apabila hutang itu kita manfaatkan untuk melakukan bisnis atau usaha, maka anggapan hutang itu buruk adalah salah.
Saya sepakat, kalau kalau kita mempunyai hutang pribadi, sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan banyak-banyak. Dan pastikan hutang kita itu ada yang bayar.
Dalam berbisnis, kalau bisnis kita mulai berkembang, pasti sangat membutuhkan tambahan modal kerja maupun investasi. Kalau kita mau maju, maka hutang untuk bisnis bukan suatu masalah, justru sangat perlu. Asal kita bisa menggunakannya secara tepat, hal itu justru akan membuat bisnis kita lebih berkembang. Sebagai contoh kita mempunyai modal Rp. 10 juta. Dari modal itu kita unntung 20%, maka keuntungan yang kita peroleh Rp. 2 juta. Namun kalau dari Rp. 10 juta kita bisa mendatangkan tambahan modal Rp. 90 juta dari hutang, sehinga modal menjadi Rp. 100 juta, maka keuntungan kita yang 20% menjadi Rp. 20 juta. Dari sini kita bisa membandingkan berapa keuntungan kita sebelum dan sesudah mendapatkan modal dari luar. Itu hitungan sederhana.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Mungkinkah kita mulai bisnis tanpa memiliki uang tunai? Saya kira itu mungkin saja. Mengapa tidak! Jika kita mampu mengoptimalkan pemikiran kita, maka akan banyak jalan yang bisa ditempuh dalam menghadapi masalah permodalan untuk kita bisa memulai bisnis. Cuma masalah permodalan untuk kita bisa memulai bisnis. Cuma masalahnya, darimana duit itu berasal? Logikanya, semua bisnis itu membutuhkan modal uang.
Memang, kebanyakan kita selalu mengeluh ketiadaan modal uang sebagai alasan mengapa kita "enggan" berwirausaha. Padahal, modal yang paling vital sebenarnya bukanlah uang, tetapi modal non-fisik, yakni berupa motivasi dan keberanian memulai yang mengebu-gebu.
Saya yakin, jika hal itu sudah bisa dipenuhi, maka mencari modal uang bukanlah persoalan yang tidak mungkin, meski secara pribadi kita tidak memiliki uang. Sementara kita telah tahu, bahwa peluang bisnis telah ada di depan mata. Tentu, alangkah baiknya jika kita tidak menundanya untuk memulai berbisnis.
Toh kita tahu, bahwa sebenarnya banyak sumber permodalan. Seperti uang tabungan, uang pesangon, pinjam di bank dan di koperasi atau dari lembaga keuangan atau dari pihak lainnya. Namun, jika kita ternyata tidak memiliki uang tabungan, uang pesangon atau katakanlah belum ada keberanian untuk meminjam uang di bank atau koperasi, saya kira kita juga tidak perlu risau. Karena ada cara untuk memulai bisnis, meski kita tidak memiliki uang tunai sekalipun.
Contohnya, kita bisa menjadi seorang perantara. Misalnya, menjadi perantara jual beli rumah, jual beli motor dan lain-lain. Keuntungan yang kita dapat bisa dari komisi penjualan atau cara lain atas kesepakatan kita dengan pemilik produk. Saya yakin, kita pasti bisa melakukannya.
Kita bisa juga membuat usaha dengan cara konsumen melakukan pembayaran di muka. Dalam hal ini, kita bisa mencari bisnis dimana konsumen yang jadi sasaran bisnis kita itu mau membayar atau mengeluarkan uang dulu sebelum proses bisnis, baik jasa maupun produk, itu terjadi. Misalnya bisa dilakukan pada bisnis jasa, seperti industri jasa pendidikan. Dimana, siswa diwajibkan membayar dulu didepan sebelum proses pendidikan itu terjadi.
Bisa juga misalnya, ada orang yang memesan barang pada kita, namun sebelum barang yang dipesan itu jadi, pihak konsumen sudah memberikan uang muka dulu. Artinya, itu sama saja kita telah diberi modal oleh konsumen.
Masih ada cara lain memulai bisnis tanpa kita memiliki uang tunai. Contohnya, menggunakan sistem bagi hasil. Biasanya, cara bisnis model ini banyak diterapkan pada Rumah Makan Padang. Dimana kita sebagai orang yang memiliki keahlian memasak, sementara patner bisnis kita sebagai pemilik modal uang.
Kita bekerjasama dan keuntungan yang didapat pun dibagi sesuai kesepakatan bersama. Atau kita mungkin ingin cara lain? Tentu masih ada. Contohnya, kita bisa melakukannya dengan sistem barter dengan pemasok, dan kita pun jika memiliki keahlian tertentu, mengapa tidak saja menjadi seorang konsultan. Selain itu, bisa saja denagn cara kita mengambil dulu produk yang akan diperdagangkan, hanya untuk pembayarannya bisa kita lakukan setelah produk tersebut terjual pada konsumen. Tentu, masih banyak cara lain untuk kita memulai bisnis tanpa uang tunai.
Oleh karena itu, menurut saya, sebaiknya kita tidak perlu berkecil hati atau takut dipandang rendah, bila ternyata kita memang tidak memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai bisnis. Saya yakin, dengan kita memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai bisnis. Saya yakin, dengan kita memiliki kemauan besar menjadi seorang wirausahawan atau entrepreneur, maka setidaknya akan selalu ada jalan untuk memulai bisnis. Nyatanya, tidak sedikit pengusaha yang telah meraih keberhasilan meski saat memulai bisnisnya dulu tanpa memiliki uang tunai.
Itu menunjukkan bahwa tidak benar kalau ada yang mengatakan "Tak mungkin kita memulai bisnis tanpa memiliki uang tunai." Kuncinya sebetulnya terletak pada motivasi dan keberanian kita memulai bisnis yang mengebu-ngebu. Hanya saja, untuk cepat meraih sukses - apalagi tanpa memiliki uang tunai - itu tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Semuanya membutuhkan perjuangan.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Saya percaya, bahwa setiap tahun telah cukup banyak orang yang masuk dunia bisnis. Mereka umumnya melakukan tiga cara. Yakni, membeli bisnis yang sudah ada, menjadi partner dalam sebuah franchise, atau dengan memulai bisnis baru.
Jika kita akan memulai bisnis baru, tentu kita harus bisa menjawab empat pertanyaan ini. Pertama, produk atau layanan apakah yang akan kita buat, dan itu untuk siapa? Kedua, mengapa harus usaha itu? Mengapa calon customer harus membeli dari kita? Apa yang akan kita berikan jika ternyata produk itu belum ada? Bagaimana kompetisinya? Apa keuntungan yang akan kita peroleh dari kompetisi itu? Ketiga, Apakah kita mempunyai sumbernya? Apakah kita akan mendapat order? Apakah order itu datang segera? Keempat, siapa pasar kita? Lantas dari manakah ide untuk mulai bisnis baru itu berasal?
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Saya kira, tidak sedikit obsesi entrepreneur dalam menekuni bisnisnya, bukan semata karena uang. Banyak dari mereka yang maju karena visi, yaitu ingin menciptakan lapangan pekerjaan, dan dari usahanya itu mempunyai dampak sosial bagi kesejahteraan masyarakat. Dan, karena visinya seperti itu, maka dengan berhasil menciptakan lapangan kerja, atau usahanya memiliki dampak sosial yang positif, maka hal itu pun sudah merupakan sesuatu yang sangat memuaskan dirinya.
Bahkan, saya merasakan, bahwa dengan memiliki visi itu, maka kalaupun usaha yang kita jalankan tidak untung, tetapi tetap jalan, maka hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan yang amat penting.
Selama ini saya jarang melihat, ada entrepreneur yang mencapai puncak prestasinya, dengan cara lebih menempatkan uang sebagai penggerak utamanya. Tapi saya berpendapat, keberhasilannya karena ia memang lebih punya kemampuan menggerakkan visinya. Sehingga, sosok entrepreneur seperti ini, selalu saja punya keinginan merubah cara kerja dunia.
Mereka selalu kreatif dan inovatif, Mereka menikmati apa yang dilakukannya. Pendeknya, visi itulah yang sebenarnya menggerakkan entrepreneur melakukan sesuatu yang akhirnya usahanya meraih kesuksesan.
Hanya saja, untuk bisa menjadi entrepreneur yang baik, maka perlu memiliki kebebasan untuk mengejar visi-visi tersebut. sebaliknya, jika tak dapat melakukannya, maka kita tidak akan pernah memperoleh keuntungan dari hal tersebut.
Pengusaha yang bisa kita jadikan contoh memiliki visi yang luar biasa adalah Bill Gates pendiri perusahaan komputer perangkat lunak terbesar di dunia, Microsoft Corp, yang baru-baru ini meraih gelar Doctor (HC) di sebuah universitas di Jepang. Pengusaha ini termasuk orang tersukses pada akhir abad ke-20 dalam kategori bisnis.
Namun, dari apa yang saya pahami, keberhasilannya itu karena ia memiliki visi dan komitmen untuk sukses, dan ternyata Bill Gates sangat menikmatinya. Jelas, bahwa kesuksesannya nyata-nyata bukan Semata-mata karena soal uang, tetapi karena ia memiliki komitmen yang luar biasa pada visinya. sesuatu yang mungkin sulit kita bayangkan sebelumnya.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Fred Smith, pendiri dan CEO Federal Express Corporation, bahwa untuk bisa menjadi entrepreneur sukses, semestinya kita juga memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Atau minimal melihat sesuatu dalam cara yang berbeda dari orang lain yang melihatnya secara tradisional.
Jadi menurut saya, sebaiknya kita sebagai seorang entrepreneur, memiliki kemampuan membuat visi masa depan. Disamping juga, kita harus mampu menggunakan intuisi, bahkan kalau perlu kita pun juga sering membuat perubahan "revolusioner". Dengan begitu, setidaknya kita memiliki kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik. Kita harus yakin, bahwa tahun-tahun ke depan akan menjadi masa terbaik bagi para entrepreneur. Maka tak ada salahnya kalau kita berani meraihnya.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang peserta "Entrepreneur University" angkatan ketiga saat mengikuti kuliah perdana pekan lalu. "Saya begitu banyak sekali ide bisnis, tapi nyatanya tak ada satu pun ide bisnis itu terealisir. Akibabnya, saya hanya sekadar kaya ide, tapi bisnis tak ada?", tanya peserta yang kebetulan ibu-rumah tangga itu.
Sebenarnya di sekitar kita ini banyak sekali macam bisnis yang bisa diraih. Hanya saja, kita harus betul-betul memahami kebutuhan masyarakat konsumen. Sebagai contoh, di beberapa kota di Amerika Serikat, sudah banyak bisnis yang dikembangkan dari ide-ide sederhana sep€rti bisnis membangunkan orang tidur (morning call). Aneh, tapi itu nyata. Tentu, pengguna jasa ini harus menjadi member terlebih dahulu dengan membayar annual fee dalam jumlah tertentu. Ada juga bisnis yang di sini masih langka dan belum memasyarakat, yakni bisnis menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi.
Barangkali sekarang ini belum banyak yang kita temukan. Namun, saya yakin jika kita kreatif, akan mampu melihat peluang bisnis sebanyak-banyaknya dan mampu menangkap satu atau dua di antaranya. Pendek kata, peluang bisnis tidak akan pernah ada habisnya, selama minat manusia masih menjalankan hajat hidupnya di dunia ini.
Dimana saja sebenarnya peluang bisnis disekitar kita? Misalnya, Saat ldul Fitri yang membawa tradisi kirim mengirim parcel dan buah tangan lainnya, walau itu sifatnya musiman, namun saya melihat itu adalah peluang bisnis. Awalnya musiman, tetapi bila dikembangkan dan ditekuni dapat dijadikan bisnis permanen bersama berkembangnya kehidupan sosial masyarakat.
Keterampilan tertentu juga bisa dijadikan peluang bisnis. Terampil dibidang elektronika misalnya, bisa membuka bisnis reparasi dan maintenance alat-alat elektronik. Ahli di bidang komputer bisa membuka bisnis software dan hardware. Terampil di mesin, bisa memulai bisnis dari servis motor atau mobil. Atau barangkali, punya kreativitas yang berciri khas dan unik, kita bisa merintis bisnis kreatif, seperti Kaos Dagadu itu.
Bahwa produk ini akhirnya jadi souvenir khas yogya, itu sebagai bukti bahwa kreativitas bisa jadi peluang bisnis yang menarik untuk digeluti. Maka, tidak ada salahnya, jika kita juga mencoba mengembangkan kreativitas yang tidak lazim dan unik, agar bisa dijadikan peluang bisnis.
Tingkat pendidikan kita juga bisa menjadi peluang bisnis dengan pengembangan profesi. Misal sarjana matematika membuka kursus matematika. Sarjana Sastra lnggris memulai usaha dengan membuka kursus bahasa lnggris. Peluang bisnis juga ada dilingkungan keluarga. Bisa dimulai dengan berbisnis makanan atau katering dan keluarga bisa diajak serta, dan bisnis ini bisa dikelola dari rumah.
Peluang itu juga terdapat di lingkungan pekerjaan, organisasi dan tetangga. Tentu saja, di lingkungan itu kita banyak teman. Maka, jika punya produk tertentu, bisa saja kita jual produk tersebut kepada mereka. Bahkan relasi kita pun bisa juga jadi peluang bisnis. Misalnya, bisa pinjam uang pada relasi untuk modal usaha. Produk yang dihasilkan, selain bisa dijual pada orang lain, juga pada relasi kita itu. Dengan begitu, kita tak hanya jeli mencari peluang bisnis, tapi juga mampu menciptakan Pasar.
Begitu pula, jika punya hobi. Misalnya melukis, bisa jadi pelukis, dan lukisan itu bisa dijual digaleri. Bagi yang hobi senam aerobik atau body Inngunge, bisa berwirausaha buka studio senam. Bahkan, peluang bisnis itu juga bisa diraih saat kita melakukan perjalanan ke luar kota. lde bisnis bisa muncul setelah kita melihat bisnis di kota lain, dan itu bisa dikembangkan di kota sendiri. Hanya saja, agar bisnis yang akan dijalankan tidak sia-sia, ada baiknya pastikan dulu pasarnya.
Tapi, tentu, peluang bisnis itu hanya bisa diraih, jika kita jeli dan gigih. Ingat pepatah yang mengatakan: "Tidak ada usaha, tidak ada hasil". Oleh karena itu, sebaiknya jangan ragu di dalam setiap meraih peluang bisnis yang ada di sekitar kita. Soal besar kecilnya peluang jangan jadi masalah. Tangkap dulu peluang yang ada. Dan, jangan khawatir, peluang bisnis yang berikutnya pasti akan mengikuti. Bisnis itu selalu mengalir, seperti bola salju, dimulai dari yang kecil lalu menggumpal menjadi besar.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang peserta "Entrepreneur University" angkatan ketiga saat mengikuti kuliah perdana pekan lalu. "Saya begitu banyak sekali ide bisnis, tapi nyatanya tak ada satu pun ide bisnis itu terealisir. Akibabnya, saya hanya sekadar kaya ide, tapi bisnis tak ada?", tanya peserta yang kebetulan ibu-rumah tangga itu.
Saya kira, pertanyaan atau kejadian seperti itu tak hanya dialami oleh ibu tadi, tapi juga cukup banyak dialami oleh kita semua, bahwa yang namanya ide bisnis itu ada-ada saja. Tapi, yah hanya sekadar ide bisnis, sementara bisnisnya nol atau tak terwujud sama sekali. Terkadang ide yang tidak kita realisir justru sudah dicoba lebih dulu oleh orang lain. Dalam konteks ini, saya berpendapat, sebenarnya untuk membuat bisnis, memang dibutuhkan ide. Hanya saja, karena kita hanya kaya ide, namun miskin keberanian untuk mencobanya, maka yang berkembang adalah idenya, sedang bisnisnya nol.
Menurut saya, miskinnya keberanian itu bermula ketika kita mendapat pendidikan di sekolah atau di bangku kuliah, yang kita dapat hanyalah teori semata. Jadi, kita terlalu banyak berteori, tapi miskin praktek. Akibatnya, ketika kita kaya ide, miskin keberanian. Artinya, kalau kita hanya menguasai teori, namun kalau tidak bisa dipraktekkan, maka ide bisnis sehebat apapun akan sulit jadi kenyataan. Yah, seperti halnya, kita belajar setir mobil. Kalau kita hanya tahu teorinya, tapi tak pernah mencoba atau mempraktekkannya, tentu tetap tidak bisa setir mobil.
Jadi, saya kira, persoalannya adalah terletak pada, bagaimana kita yang semula hanya kaya teori atau hanya sekadar bermain logika atau istilah lainnya hanya mengandalkan otak kiri, kemudian bisa berpikir atau bertindak dengan otak kanan, Saya yakin, jika kita mampu juga menggunakan otak kanan, maka seperti pada saat kita setir mobil. Serba otomatis, tidak lagi harus dipikir, semua sudah di bawah sadar kita.
Kalau pun, di saat kita praktek setir mobil atau mempraktekkan teori kita itu, terjadi berbagai kendala, seperti: di saat kita memasukkan mobil ke garasi, mobil kita sedikit rusak karena nyenggol pagar misalnya, saya kira nggak masalah. Begitu juga, ketika kita kecil belajar bersepeda, mengalami jatuh beberapa kali, itu sudah biasa. Tapi, akhirnya, bisa juga kita naik sepeda. Artinya, kita baru bisa naik sepeda setelah pernah mengalami jatuh beberapa kali.
Di bisnis, saya kira itu juga sama. Kita harus ada keberanian untuk jatuh dan bangun. Sebaliknya, kalau tidak ada keberanian seperti itu, bisnis sekecil apapun tak akan ada. Dan, kalau kita biarkan ide bisnis itu, akibatnya kita hanya kaya ide bisnis, tapi miskin duitnya. Saya yakin, engan keberanian itulah akan mendatangkan duit. Oleh karena itulah, menurut hemat saya, lebih baik kita berani mencoba dan gagal dari pada gagal mencoba. Anda berani mencoba?
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Saat saya berbicara pada kuliah kewirausahaan di Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta di Yogyakarta, saya sempat ditanya para mahasiswa: "Apakah seorang untuk menjadi pengusaha itu harus memiliki keterampilan dulu ?"
Saya rasa, ini pertanyaan bagus. Pertanyaan yang sama pernah juga hinggap di benak saya, yaitu saat saya baru memulai menjadi pengusaha. Saat pertanyaan ini saya balikkan pada mereka, teryata sebagian besar mahasiswa mengatakan: "Perlu terampil dulu, baru berani memulai usaha."
Saya rasa jawaban mereka tidak bisa disalahkan. Mereka cenderung menggunakan otak rasional. Padahal menurut saya, untuk menjadi pengusaha, kita harus berani dulu memulai usaha, baru setelah itu memiliki keterampilan. Bukan sebaliknya, terampil dulu, baru berani memulai usaha.
Sebab, saya melihat di Indonesia, ini sebenarya banyak sekali pengangguran yang tidak sedikit memiliki keterampilan tertentu. Namun, mereka tidak punya keberanian memulai usaha. Akibatnya, keterampilan yang dimiliki apakah itu yang diperolehnya saat sekolah atau bekerja sebelumnya, akhirnya banyak yang tidak dimanfaatkan. Itu 'kan sayang sekali.
Seperti yang saya alami sendiri, saat membuka usaha Restoran Padang Sari Raja. Saya katakan pada mereka, bahwa terus terang saya tidak bisa membuat masakan padang yang enak. saya penikmat masakan padang. Tapi saya tidak tahu bumbunya apa saja yang membuat masakan tersebut enak. Saya katakan pada mereka: "Saya bisanya hanya nggodhog wedang atau merebus air". Itu artinya apa? Saya bisa punya usaha restoran, karena saya punya keberanian.
Begitu juga, saat saya dulu membuka usaha Bimbingan Belajar Primagama. Saya belum pernah mengajar atau menjadi tentor di tempat lain. Bahkan saya belum pernah menjadi karyawan di perusahaan orang lain. Namun, saya memberanikan diri untuk membuka usaha tersebut. Sebab, saya berpendapat, kalau kita tidak punya keterampilan, maka banyak orang lain yang terampil di bidangnya bisa menjadi mitra usaha kita.
Karena itu bagi saya, yang terpenting adalah keberanian dulu membuka usaha. Apapun jenisnya, apapun namanya. Sebab, sesungguhnya, untuk menjadi pengusaha, keterampilan bukan segala-galanya. Tetapi keberanian memulai usaha itulah yang harus kita miliki terlebih dahulu.
Banyak contoh, orang yang sukses menjadi manajer, tapi ternyata belum tentu sukses sebagai entrepreneur. sebaliknya, seseorang yang di awal memulai usaha dengan tidak memiliki keterampilan manajerial, tetapi ia memiliki keberanian memulai usaha, banyak yang ternyata berhasil. Orang jenis terakhir ini selain memiliki keberanian, juga mau mengembangkan jiwa entrepreneur. Oleh karena itulah saya kira, jiwa entrepreneur, harus kita bangun atau kita bentuk sejak awal.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Waktu kuliah dulu saya punya teman yang pandai dan memiliki wawasan dunia bisnis yang lumayan. Ide-ide rencana usaha yang muncul dari pemikirannya sangat cemerlang. Selalu saja, ide-ide itu adalah ide bisnis yang menarik, prospeltif, dan berpeluang besar untuk digarap. Semua teman kuliah berdecak kagum dengan lontaran ide-idenya.
Tetapi ide-ide itu tinggal ide saja. Sampai hari ini belum ada satu pun bisnis yang pernah dijalankannya. Malahan, terakhir saya ketemu dia, berstatus karyawan sebuah perusahaan publik di Jakarta. Dia memang terlalu pandai untuk merencanakan sebuah usaha sekaligus terlalu takut untuk memulai.
Ada juga mahasiswa yang pernah datang pada saya. Dia menyatakan ingin berwirasusaha, kemudian dia mengatakan, bahwa dirinya belum punya modal dan tidak begitu pandai. Saya katakan pada dia: "Kebetulan!" Kemudian saya katakan lagi: "Jangan takut, karena modal utama untuk memulai bisnis adalah keberanian."
Mengapa saya katakan seperti itu? Sebab, biasanya kalau terlalu pinter itu malah terlalu berhitung. Orang yang tahu banyak hal, maka dia akan tahu banyak risiko dan halangan di depannya. Hal itu menurut saya justru akan menciutkan nyalinya.
Saya malah pernah bilang pada seorang sarjana yang ingin berwirausaha. Saya katakan: "Sekarang, abaikan ijazahmu. Buatlah dirimu seolah-olah tidak punya apa-apa, kecuali semangat dan keinginan yang kuat."
Saya teruskan: "Mulailah berwirausaha justru pada saat Anda tidak punya apa-apa. Saat Anda merasa tertekan. Saat Anda tidak dapat berbuat apa-apa dengan ijazah Anda. Saat Anda kebingungan karena harus bayar kredit rumah. Atau pada saat Anda merasa terhina."
Memang nasehat saya ini agak berbeda dengan kebanyakan orang. Biasanya orang menyarankan, kalau mau usaha sebaiknya mengumpulkan modal dulu, kemudian cari tempat dan seterusnya. Tetapi, banyak orang sukses sebagai wirausahawan justru dimulai dari sebaliknya, hanya punya semangat dan tidak punya apa-apa. Kondisi yang ada memaksa mereka harus "bermimpi" tentang masa depannya, kemudian tertantang untuk menggapainya, dan berusaha keras untuk mewujudkannya.
Anda tentu tahu atau paling tidak pernah mendengar nama Steve Jobs. sebelumnya dia bukan siapa-siapa. Jobs hanyalah anak muda yang gemar bercelana jeans belel dan berkantong kempes. Belakangan, dia membuat Apple Computer di garasi rumahnya, dan mendirikan perusahaan yang masuk Fortune 500 lebih cepat dari siapapun sepanjang sejarah.
Jobs adalah contoh orang yang berhasil dalam berwirausaha, justru bukan karena kepandaiannya di bangku kuliah. Tapi, karena ia memiliki keberanian dan keyakinan akan usaha yang digelutinya. Dia mampu bertindak merealisasi gagasannya dengan meninggalkan lingkungan kuliah dan teman-temannya yang suka berhura-hura.
Tapi, saya tidak menyarankan Anda untuk mengabaikan pendidikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan, bahwa untuk menjadi wirausahawan terlebih dahulu dibutuhkan keberanian memulai (bertindak), untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Hal tersebut harus segera dilakukan, sebelum orang lain mendahuluinya. Kepandaian akademis akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Senin, Februari 08, 2010
Kategori :
Kewirausahaan
Menjadi karyawan (employee), bisnis sendiri (self-employed), menjadi pengusaha (bussines owner), dan sekaligus sebagai investor, itu memang bisa saja menjadi pekerjaan kita. contohnya, dokter. selain dia sudah tercatat sebagai pegawai negeri atau sebagai karyawan, dia pada saat praktek di rumah atau di tempat prakteknya, maka sang dokter itu sudah mengelola bisnis sendiri.
Nah, apabila, dokter itu punya klinik atau laboratorium, maka dia sebagai layaknya pengusaha. Sedangkan, kalau dia membeli aset dalam bentuk real estate atau rumah, atau membeli saham, atau ikut sirkah, maka dokter tersebut sebagai investor atau penanam modal. Tapi yang jelas, jika kita ingin mendapatkan kekayaan atau aset untuk masa depan, saya kira, lebih pas atau cocok kalau kita bisa menjadi pengusaha atau investor. Biasanya, kalau kita sudah menjadi pengusaha, maka tidak sulit untuk menjadi investor.
Kalau kita sebagai karyawan, maka kita bekerja untuk orang lain. sementara, kalau kita mengelola bisnis sendiri, maka kita bekerja untuk diri kita sendiri, sehingga kalau kita libur tentu tidak akan dapat duit. Karena apa? Itu karena, dengan mengelola bisnis sendiri kita bekerja belum menggunakan sistem. Sehingga, tanpa kita terlibat langsung dalam bisnis itu, maka bisnis tidak bisa jalan.
Jika kita sebagai pengusaha, maka orang bekerja untuk kita. Artinya, kita sudah menggunakan sistem. Katakanlah, kalau kita sebagai pengusaha sedang cuti atau libur satu tahun, bahkan waktunya cukup lama sekalipun, maka bisnis itu tetap jalan. Bahkan, tak menutup kemungkinan bisnis kita justru lebih maju. Dan, saya kerap kali melihat, bahwa mereka yang sekarang telah menjadi pengusaha, bisa juga sekaligus sebagai investor. Kalau kita sebagai pengusaha kecil yang kesemuanya dari yang kecil sampai yang besar kita urus sendiri, maka begitu kita libur, uangnya juga libur.
Jika kita sebagai karyawan di perusahaan yang memberikan gaji besar, dan kita bisa menabung, maka setelah pensiun kita bisa jadi investor. Kalau kita sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan, itu bisa dengan memulai usaha atau bisnis kecil-kecilan atau mengelola bisnis sendiri yang masih kecil. Oleh karena itu, saya berpendapat kalau sekarang ini posisi kita sebagai karyawan, maka kita sebaiknya berusaha keras, bagaimana bisa punya bisnis sendiri. Setelah bisnis itu jalan, maka bagaimana kita berusaha mengembangkan sistem, dimana bisnis kita menjadi besar. Sampai akhirnya kita bisa menjadi pengusaha.
Dan, setelah itu bukan hal yang tak mungkin, kalau kemudian kita bisa menjadi investor. Menjadi investor berarti uang bekerja untuk kita. Maka, kalau kita mau kaya, mestinya tidak cukup kita menjadi karyawan atau sekedar punya bisnis kecil-kecilan, sebaiknya kita harus berani menjadi pengusaha atau investor, sekalipun untuk menuju ke arah sana bukan hal yang mudah. Tak sedikit tantangan yang harus kita hadapi. Tapi yakinlah, dengan kita memiliki jiwa entrepreneur, mimpi jadi investor akan menjadi kenyataan.
Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Minggu, Februari 07, 2010
Hal ini sangatlah penting. Sebab jika tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis itu sendiri, yakni usaha akan berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Namun lain halnya, apabila sebuah perusahaan memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, saya yakin bisnis yang tersebut akan lebih berpeluang cepat berkembang. Juga, akan lebih siap menghadapi persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manajer berjiwa entrepreneur akan membuat sebuah perusahaan lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik optimum biasanya jika tidak disentuh oleh manajer berjiwa entrepreneur, justru akan mengalami kondisi menurun.
Saya sendiri merasakan bahwa ketika sebuah perusahaan memiliki manajer berjiwa entrepreneur, biasanya perusahaan tersebut juga akan selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis. Itu pula yang saya kira, ada di perusahaan saya.
Dan, perubahan, bagi manajer berjiwa entrepreneur adalah pekerjaan itu sendiri. Sedangkan resiko yang timbul juga bagian dari pekerjaannya. Persis seperti yang dikatakan oleh William Ahmanson, bahwa dalam bisnis tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh dari tempat satu ke tempat lain.
Maka, dalam konteks inilah, saya melihat, bahwa ada tiga komponen di dalam sebuah bisnis, meliputi: investor (orang yang mencari resiko), entrepreneur (orang yang mengambil resiko), dan manager (orang yang menghindar dari resiko). Dan, dalam kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal yang sangat penting. Apalagi di saat sebuah usaha harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja sikap ini akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengambangan bentuk-bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam mengembangkan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa mereka memiliki jiwa entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manajer berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J.A Schumpeter dalam bukunya “The Entrepreneur as Innovator”, manajer berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, energik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpadangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap resiko, senang mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Berbeda dengan manajer yang tidak berjiwa entrepreneur. Biasanya mereka cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi mereka mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Mereka juga akan kesulitan mengikuti langkah-langkah bisnis entrepreneur.
Namun ketika seorang manajer memiliki sense of entrepreneur, biasanya ia akan bisa menjadi entrepreneur sejati. Dan, apabila Anda sebagai entrepreneur telah memiliki manajer yang menjalankan usaha Anda, sebaiknya manajer perusahaan yang berjiwa entrepreneur tersebut Anda beri lagi sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha anda, lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, ia memberanikan diri mendirikan usaha sendiri. Itu tentu saja lebih baik. Sebab tindakannya itu akan membantu menciptakan lapangan kerja, entrepreneur-entrepreneur baru pun semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa jadi ia akan menjadi kompetitor Anda jika ternyata bisnis yang digelutinya sama dengan bisnis Anda. Saran saya, anggap saja itu sebagai bumbu penyedap dalam menggeluti bisnis. Selamat menjadi manajer berjiwa entrepreneur. Atau, membentuk manajer Anda memiliki karakter entrepreneur.