Posted By
Abdul Qohar Visioner
di
Jumat, Maret 12, 2010
Kategori :
Bahasa ARAB
Saudaraku yang baik, ketika kita berkunjung ke sebuah toko buku (maktabah) dan berhenti di depan tatanan buku (baca; kitab) gramatikal bahasa Arab (an-Nahwu). Seketika itu juga, kita berdecak kagum pada para ulama yang mampu menulis buku berjilid-jilid, sehingga timbul keinginan kita untuk membeli dan mendalaminya. Namun, ada sutu hal yang terlebih penting sebelum mendalami sebuah buku. Yaitu, mengenal dasar-dasar ilmu yang sepuluh (Al-Mabadi Al-Asyarah) dari buku tersebut. Diantaranya, mengenal siapa pelopor ilmu tersebut. Ilmu Nahwu merupakan ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena berkaitan dengan memelihara lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur an. Disamping itu, ilmu Nahwu juga termasuk kategori ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, ilmu Usul Fiqh, Tafsir, Fiqh, Mantiq dan lain-lainnya.
Penamaan Ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.
Penamaan Ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abu Al-Aswad Ad-Dhual sebagai pencinta dan pemerhati bahasa arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu, qori tersebut membaca kata "rasuulihi" yang terdapat dalam ayat "innallaaha bariiun minalmusyrikiin wa rasuuluhu"� dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng'athaf kannya kepada kata" al-musyrikiin". Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abu Al-Aswad Al-Dhual sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "ma ahsannus sama a" sebagai badal dari kalimat kagum (ta'azzub) yang seharusnya "ma ahsanasama i". Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dari wujud� aslinya. Kemudian ia pergi mengadukan hal-hal yang pernah ditemukannya, yang berkaitan dengan kerusakan estetika gramatikal bahasa arab kepada Saidina Ali Ra.
Aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.
Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyiin), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (thalib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abu Aswad ad-Dhuali. Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu, ketika itu Negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi (azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli. Bahasa arab merupakan bahasa resmi negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab". Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur mereka takwilkan� atau menggolongkannya sebagai kelompok yang ganjil (syaz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab. Aliran (Madrasah) Kufah.
Negeri Kufah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qira ah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira ah seperti kisai, Ashim Bin Abi Al-Nujud dan Hamzah. Kisaai termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kufah. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya. Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa� arab. Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang tinggi? Semoga!
Tulisan ini disarikan dari kitab Mujaz Tarikh an-Nahwu, Taufiq Amr Balthoh zi,
cetakan I, maktabah Dar al-Syaikh amin kuftaru. di ambil dari http://www.cybermq.com/pustaka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar